Tuesday, March 17, 2015

BERJUTA KASIH DARIMU, IBUKU

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ibu selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas rumah, seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku diharuskan membantunya memasak di pagi buta, sebelum bapak bangun. Bahkan sepulang sekolah, ibu tak mengizinkanku bermain sebelun semua pekerjaan rumah di bereskan.
Sehabis makan, akupun harus mencucinya sendiri. Juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya, hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ibu melakukan itu semua. Karena ibu tau, kelak aku juga aan menjadi istri dari suamiku dan ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Tanpa aku sadari, ibu telah melatih diriku tuk siap menjadi dirinya kelak ketika aku telah bertemu pasangan hidup. Terima kasih ibu, karena engkaulah aku menjadi istri yang baik bagi suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ibu yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali ku lihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Ia tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, mentari ataupun hujan, juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting baginya ialah melihat senyum kecilku mewarnai harinya dan ibu menungguku hingga bel berbunyi.
Kini, setelah aku beranjak dewasa, apa yang ku lakukan? Aku malah sering meninggalkannya bermain bersama teman-teman, bepergian. Bahkan telah berucap kata-kata dusta untuknya, amarah yang acuhkan kekhawatiran jiwanya. Aku tak sadar ia sembunyikan sakitnya di balik senyum indahnya. Aku larut dalam kesenanganku, tak tau ketika ia sakit, ketika ia membuthkan pertolonganku dan disaat tubuhnya melemah.
Wahai ibu…ampunilah aku.

Di usiaku yang beranjak dewasa, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang ku anggap kuno, jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi dan gaul. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu, dua meter di depannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya. Sungguh hina sang jiwa jika mengingatnya!
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tidak pernah memikirkan penampilannya. Ia jarang membeli pakaian baru apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua itu untuk membelikanku pakaian yang bagus agar aku terlihat cantik. Ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal aku tau, ibu dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang telah mengajariku berjalan. Ia yang mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis. Pantaskah aku acuhkan derai jiwamu?

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi, aku merasa semakin jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya. Inikah arti membalas kasihnya?

Usai wisuda sarjana, barulah aku mengerti, Ibu yang ku anggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan seorang anak yang cerdas dan mampu meraih gelar sarjananya. Meski ibu bukanlah orang yang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah ku raih. Tanpamu ibu, aku tidak akan pernah menjadi aku yang sekarang. Aku hanya debu tanpa kasih dan cintamu.

Pada hari pernikahanku, ibu jua yang menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat ku pandang senyumnya, begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum pasanganku.
Usai akad nikah, Ibu langsung menciumku di saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, Ibu juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini, setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjengukmu atau menanyai kabarmu.
Aku sangat ingin menjadi pendamping yang shalehah dan taat kepada pasanganku, hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku padamu, Ibundaku. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak aku baru mengerti bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya, tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

“Ya Allah, Engkau yang anugerahkan hamba kebahagiaan dari sentuhan seorang ibu. Jangan biarkan jarak dan waktu jauhkan jiwa hamba darinya. Jangan biarkan kesibukan lunturkan rasa hingga enggan menyapanya…”

“Ya Allah, begitu indah anugerah-Mu. Ialah sentuh syurga dari seorang ibu. Ia yang mengajarkan hamba cara menjalani waktu, walau terkadang jiwa enggan mematuhinya.
Ia yang mengenalkan hamba cara menyebut nama-Mu, jangan biarkan jiwa menjauh darinya meski hati telah temukan pendamping langkahku…”

Untuk tiap tetes jiwa yang lahirkan aku

Untuk tiap helaan nafas yang terhembus ciptakan senyumku

Sejuta kisah indah yang engkau ukir dan takkan mampu terbalaskan

Terimalah alunan hati buah hatimu

Aku yang takkan lelag mengingat sentuh kasihmu dalam alunan doaku


-Ibunda -

No comments:

Post a Comment